BAB I
PENGANTAR PERPAJAKAN
MACAM-MACAM PUNGUTAN DI INDONESIA
Retribusi
Dalam Pasal 1 angka 64 Undang-Undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah dijelaskan pengertian retribusi adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau
badan, misalnya: pembayaran uang sekolah, uang kuliah, langganan PAM, retribusi
pasar dan lain-lain.
Sumbangan
Sumbangan mengandung pikiran, bahwa biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk prestasi Pemerintah tertentu, tidak boleh dikeluarkan dari
kas umum. Karena prestasi itu tidak ditunjukan kepada penduduk seluruhnya, melainkan
hanya untuk sebagian tertentu saja. Oleh karena itu maka hanya golongan tertentu
dari penduduk yang diwajibkan membayar sumbangan ini, misalnya Sumbangan Wajib
Pemeliharaan Prasarana Jalan, Pening Sepeda. (Utara, 2011:36)
Pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tetang
ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan pada Pasal 1 Ayat 1 berbunyi pajak
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
FUNGSI PAJAK
Mardiasmo (2018: 4) Pajak memiliki dua fungsi
yaitu:
1.
Fungsi Anggaran
(sebagai salah satu sumber dana pemerintah)
2.
Fungsi Mengatur
(sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah)
Contohnya: Pajak tinggi untuk barang-barang mewah guna mengurangi gaya
hidup konsumtif.
SYARAT PEMUNGUTAN PAJAK
1.
Pemungutan
pajak harus adil
2.
Pemungutan
pajak harus sesuai undang-undang
3.
Pemungutan
pajak tidak mengganggu perekonomian
4.
Pemungutan
pajak harus efisien
5.
Sistem
pemungutan pajak harus sederhana
TEORI-TEORI YANG MENDUKUNG PEMUNGUTAN PAJAK
Menurut Agus Sutrija Utara (2011: 42-45) teori
yang mendukung sebagai berikut:
Teori Asuransi, negara memungut pajak karena negara bertugas untuk melindungi orang dan
segala kepentingannya, keselamatan dan keamanan jiwa dan harta bendanya.
Teori Kepentingan, dengan teori ini biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Negara untuk menunaikan
kewajibannya dibebankan kepada masyarakat.
Teori Bakti, menurut teori ini kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya terhadap
negara dalam bentuk pembayaran pajak.
Teori Daya Beli, menurut teori ini pemungutan pajak dapat disamakan seperti pompa, yaitu
mengambil daya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan
kemudian menyalurkan kembali ke masyarakat untuk memelihara hidup masyarakat.
Teori Daya Pikul, negara telah melindungi rakyat oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan
negara dipikul oleh rakyat dengan pemungutan pajak.
Teori Pembenaran Menurut Pancasila, dalam pancasila terkandung nilai gotong royong dan kebersamaan untuk
kepentingan umum dan pajak adalah salah satu bentuknya.
KEDUDUKAN HUKUM PAJAK
Mardiasmo (2018: 6) Hukum pajak memiliki
kedudukan di antara hukum-hukum sebagai berikut:
1.
Hukum perdata,
hukum yang mengatur antarindividu
2.
Hukum publik,
hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan rakyatnya. Hukum ini terinci
sebagai berikut:
a.
Hukum Tata
Negara
b.
Hukum Tata
Usaha
c.
Hukum Pajak
d.
Hukum Pidana
PENGELOMPOKAN PAJAK
Dalam bukunya Mardiasmo (2018: 7-8)
mengelompokkan pajak menjadi:
1.
Menurut
Golongannya
a.
Pajak langsung,
pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan
kepada orang lain. Contohnya: Pajak penghasilan
b.
Pajak tidak
langsung, pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan kepada orang lain.
Contohnya: Pajak pertambahan nilai.
2.
Menurut
Sifatnya
a.
Pajak
subjektif, pajak yang berdasar pada subjeknya atau memperhatikan keadaan diri
wajib pajak. Contohnya: Pajak penghasilan
b.
Pajak objektif,
pajak yang berdasar pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak.
Contohnya: Pajak pertambahan nilai dan pajak pejualan atas barang mewah.
3.
Menurut Lembaga
Pemungutnya
a.
Pajak Pusat,
pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan untuk pembiayaan rumah tangga
negara. Contohnya: Pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan
atas barang mewah, dll.
b.
Pajak Daerah,
pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan untuk pembiayaan rumah tangga
daerah. Pajak Daerah terbagi menjadi dua yakni: Pajak Provinsi (Pajak kendaraan
bermotor, pajak rokok, dll) dan Pajak Kabupaten/Kota (Pajak hotel, pajak
restoran, dll). Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi daerah adalah
Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerahdan Retribusi Daerah.
TIMBUL DAN HAPUSNYA UTANG PAJAK
Timbulnya utang pajak karena:
1. Ajaran Formil, timbul karena dikeluarkannya surat
ketetapan pajak oleh fiscus. Diterapkan pada official assesment system.
2. Ajaran Materiil, timbul karena berlakunya undang-undang.
Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan atau perbuatan. Diterapkan pada self
assessment system.
HUKUM PAJAK MATERIIL DAN HUKUM PAJAK FORMIL
Hukum Pajak Materiil, memuat norma-norma yang menerapkan keadaan perbuatan, antara lain objek
pajak, subjek pajak, tarif pajak, segala sesuatu yang timbul dan hapusnya utang
pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dan Wajib Pajak. Contohnya,
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi
kenyataan. Contohnya, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. (Mardiasmo, 2018:
7)
HAMBATAN PEMUNGUTAN PAJAK
1.
Perlawanan
Pasif
Masyarakat enggan membayar pajak disebabkan
karena: Perkembangan intelektual dan moral masyarakat, sistem perpajakan yang
mungkin sulit dipahami oleh masyarakat, sistem kontrol tidak dapat dilakukan
dengan baik.
2.
Perlawanan
Aktif
Perlawanan ini meliputi semua usaha dan
perbuatan yang dilakukan oleh wajib pajak dengan tujuan menghindari pajak.
Bentuknya antara lain
a.
Tax avoidance, usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar undang-undang
b.
Tax evasion, usaha meringankan pajak dengan cara melanggar undang-undang (menggelapkan
pajak).
ASAS-ASAS PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK
Suparnyo (2018: 23) Dalam pelaksanaan
pemungutan pajak dijumpai asas-asas pelaksanaan pemungutan pajak, tata cara
pemungutan pajak dan sistem pemungutan pajak. Asas-asas pelaksanaan pemungutan
pajak yaitu: Asas Yuridis; Asas Ekonomis; Asas Umum dan Merata; Asas Domisili; Asas
Sumber; Asas Kebangsaan; Asas Waktu; Asas Rentabilitas; Asas Resiprositas; The
Four Maxims agar pemungutan pajak dirasa adil, menurut Adam Smith dalam bukunya
Wealth of Nation peraturan pajak harus memenuhi empat syarat, yaitu:
a.
Equity ( Kepatutan) dan Equality (Kesamaan)
b.
Certainty (Kepastian Hukum)
c.
Convenience of
Payment (Dibayar pada saat yang tepat)
d.
Efisiensy /
Economics of Collection (Pajak Harus Memberikan Hasil)
BAB II
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Mardiasmo (2018: 25) Sejalan dengan perkembangan
ekonomi, teknologi informasi, sosial, dan politik, disadari bahwa perlu
dilakukan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalisme
aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan
meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Sistem, mekanisme, dan tata cara
pelasanaan hak dan kewajiban perpajakan yang sederhana menjadi ciri dan corak
dalam perubahan undang-undang ini dengan tetap menganut sistem self assessment.
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian
hukum, keadilan, dan kesederhanaan arah dan tujuan perubahan undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini mengacu pada kebijakan
pokok sebagai berikut:
1.
Meningkatkan
efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan negara
2.
Meningkatkan
pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna meningkatkan daya
saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung pengembangan usaha
kecil dan menengah.
3.
Menyesuaikan
tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta perkembangan di bidang
teknologi informasi
4.
Meningkatkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban
5.
Menyederhanakan
prosedur administrasi perpajakan
6.
Meningkatkan
peerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten
7.
Mendukung iklim
usaha ke arah yang lebih kondusif dan kompetitif.
DASAR HUKUM
Dasar hukum Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
TAHUN PAJAK
Mardiasmo
(2018: 28-29) Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun takwim atau tahun
kalender. Akan tetapi wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak tidak sama
dengan tahun takwim dengan syarat konsisten (taat asas) selama 12 bulan, dan
melapor kepada Kantor Pelayanan Pajak Pratama setempat. Cara menentukan suatu
tahun pajak sebagai berikut:
1.
Pembukuan
dimulai 1 Januari 2016 dan berakhir 31 Desember 2016, disebut tahun pajak 2016
2.
Pembukuan
dimulai 1 Juli 2016 dan berakhir 30 Juni 2017. Disebut tahun pajak 2016 karena
6 bulan pertama jatuh pada tahun 2016
3.
Pembukuan
dimulai 1 April 2016 dan berakhir 31 Maret 2017. Disebut tahun pajak 2016
karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2016
4.
Pembukuan
dimulai 1 Oktober 2016 dan berakhir 30 September 2017. Disebut tahun pajak 2017
karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2017.
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau
identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
1.
Pendaftaran
NPWP
Isroah (2013:
18) Setiap wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib
pajak badan wajib mendaftarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib pajak
untuk dicatat sebagai wajib pajak dan sekaligus kepadanya diberikan NPWP paling
lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan. Adapun fungsi NPWP
adalah:
a.
sebagai
tanda pengenal atau identitas wajib pajak dan sebagai sarana administrasi
perpajakan sehingga wajib pajak hanya diberi satu NPWP,
b.
sebagai
sarana menjaga ketertiban dan pengawasan administrasi perpajakan sehingga wajib
pajak mencantumkan NPWP pada setiap dokumen perpajakan.
2.
Penghapusan NPWP
Penghapusan
NPWP adalah tindakan menghapuskan NPWP dari tata usaha Kantor Pelayanan Pajak
(KPP). Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
untuk WP-OP atau 12 (dua belas) bulan untuk WP-Badan sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap. Dengan penghapusan NPWP ini bukan berarti
menghilangkan kewajiban perpajakan yang harus dilakukan. Penghapusan NPWP ini
dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
a.
Diajukan permohonan penghapusan NPWP oleh wajib pajak
dan/atau ahli warisnya apabila wajib pajak sudah tidak lagi memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan perpajakan.
b.
Wajib pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau
penggabungan usaha.
c.
Wajib pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) menghentikan
kegiatan usahanya di Indonesia atau
d.
Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
menghapus NPWP dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif
dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan
perpajakan (Isroah, 2013: 19).
e.
Wanita yang
sebelumnaya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan (Mardiasmo, 2018: 32).
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya
(Mardiasmo, 2018: 33)
Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang
Undang nomor 6 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
perubahannya yang kedua nomor 18 tahun 2000 maka wajib melaporkan usahanya pada
Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk
dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pencabutan Pengukuhan PKP
(Isroah, 2013: 19).
Direktorat Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan
keputusan atas permohonan pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam
jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(Isroah, 2013: 20).
SANKSI TIDAK MEMPUNYAI NPWP ATAU NPPKP
Isroah (2013: 20) Dalam KUP (Ketentuan Umum
dan tata cara Perpajakan) dinyatakan bahwa bagi wajib pajak dengan sengaja
tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan atau menggunakan hak tanpa NPWP,
pengukuhan PKP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
diancam dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama enam
tahun dan denda paling sedikit dua kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang bayar. Dan paling banyak empat kali jumlah pajak terutang yang tidak
atau kurang bayar.
KEWAJIBAN PENCATATAN DAN PEMBUKUAN
1. Pencatatan
Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto
atau penjualan bruto dari usahanya dan penerimaan penghasilan lainnya dari luar
usaha dengan tujuan mempermudah perhitungan Penghasilan Kena Pajak serta
mempermudah perhitungan PPN dan PPnBM. Apabila wajib pajak dalam
memperhitungkan pajak penghasilan dengan menggunakan pencatatan, maka
penghasilan neto ditentukan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah persentase
tertentu dari peredaran atau penghasilan bruto usaha atau pekerjaan bebas yang
merupakan standar umum besarnya pengasilan neto yang dianggap normal atau wajar
yang dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan pasal 14
(2) dinyatakan bahwa yang diperkenankan untuk menggunakan pencatatan adalah
Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dengan
syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga)
bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (Isroah, 2013: 21)
2. Pembukuan
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban,
modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan
barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca,
dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak tersebut.
Pembukuan ini wajib dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan di Indonesia. Wajib
pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib
melakukan pencatatan adalah:
a.
Wajib Pajak Orang
Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran
brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
b.
Wajib Pajak Orang
Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak
yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan
berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk
menghitung besarnya penghasilan kena pajak. Laporan Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing wajib pajak.
Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan
pada Surat Pemberitahuan (SPT), Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan
tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan. (Isroah,
2013: 21)
1. Syarat Pencatatan dan Pembukuan
Isroah (2013, 22) Ada beberapa syarat dalam
penyelenggaraan pencatatan atau pembukuan yaitu:
a. Harus dilakukan dengan itikat baik dan mencerminkan keadaan
atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b.
Harus
diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan.
c.
Diselenggarakan dengan
prinsip taat azas dengan stelsel acrual atau stelsel kas.
d.
Perubahan terhadap
metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur
Jenderal Pajak.
e. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang
selain rupiah dapat diselenggarakan oleh wajib pajak setelah mendapat izin
Menteri Keuangan.
PEMERIKSAAN DAN PENYELIDIKAN
Mardiasmo (2018: 56) Direktur Jenderal Pajak
berwenang melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
1.
Pemeriksaan
Pemeriksaan
adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan dan bukti
yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar
pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo, 2018: 57).
Yang menjadi
sasaran pemeriksaan maupun penyelidikan adalah mencari adanya:
a.
Interpretasi
undang-undang yang tidak benar
b.
Kesalahan
hitung
c.
Penggelapan
secara khusus dari penghasilan
d.
Pemotongan dan
pengurangan tidak sesungguhnya yang dilakukan wajib pajak dalam melaksanakan
kewajiban perpajakan.
2.
Penyelidikan
Penyelidikan
tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya. Penyelidikan tindak pidana bidang perpajakan dilaksanakan menurut
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
(Mardiasmo, 2018: 58)
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
SPT adalah surat yang oleh wajib pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak
dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo, 2018: 35)
SURAT SETORAN PAJAK (SSP)
SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan
dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara
melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan (Mardiasmo, 2018:
41)
SURAT KETETAPAN PAJAK
Mardiasmo (2018: 45) Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang
meliputi:
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi,
dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah
ditetapkan.
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), adalah suatu
ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah
kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak
terutang.
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN), adalah surat
ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarrnya dengan jumlah
kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
SURAT TAGIHAN PAJAK
Mardiasmo (2018: 49) STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan
atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STP memiliki fungsi
sebagai berikut:
1. Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut
SPT Wajib Pajak
2. Sarana mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau
denda
3. Alat untuk menagih pajak.
STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan SKP, sehingga dalam hal
penagihannya dapat juga dilakukan dengan surat paksa.
BAB III
(Bagian 1) PAJAK PENGHASILAN UMUM
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-undang ini
telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (Mardiasmo, 2018: 153).
SUBJEK PAJAK
Pajak Penghasilan dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh selama
tahun pajak Adapun yang menjadi subjek pajak adalah:
1.
Orang
pribadi;
2.
Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
3.
Badan;
dan
4.
Bentuk
Usaha Tetap (BUT).
Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Bentuk usaha tetap adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
BUT dapat berupa: tempat kedudukan manajemen; cabang
perusahaan; kantor perwakilan; gedung kantor; pabrik; bengkel; gudang; ruang
untuk promosi dan penjualan; pertambangan dan penggalian sumber alam; wilayah
kerja pertambangan minyak dan gas bumi; perikanan, peternakan, pertanian,
perkebunan, atau kehutanan; proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 dua belas)
bulan; orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas; agen atau pegawai dari perusahan asuransi yangtidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung
risiko di Indonesia; dan komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis
yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik
untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet (Isroah, 2013: 36).
Subjek pajak dibedakan menjadi
subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
1.
Subjek
pajak dalam negeri:
a.
Orang
pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
b.
Badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu
dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: pembentukannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan; pembiayaannya bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah; dan pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.
c.
Warisan
yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2.
Subjek
pajak luar negeri adalah:
a.
orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia apabila: tidak
bertempat tinggal di Indonesia dan berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
b.
badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia dan menerima/memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak melalui BUT (Mardiasmo, 2018:154).
TIDAK TERMASUK SUBJEK PAJAK
Mardiasmo (2018: 156) Beberapa
pihak yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
adalah:
1.
Kantor
perwakilan negara asing;
2.
Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersamasama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan
atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan
timbal balik;
3.
Organisasi-organisasi
internasional dengan syarat: Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut dan
tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;
4.
pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan
syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
OBJEK PAJAK
Mardiasmo (2018: 157) Dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.36 Tahun
2008 dinyatakan bahwa yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
1.
penggantian
atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini;
2.
hadiah
dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
3.
laba
usaha;
4.
keuntungan
karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
a. keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan, persekutuan, dan badan lain sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal;
b.
keuntungan
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang
diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
c.
keuntungan
karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
d.
keuntungan
karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang
diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan
badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi,
atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan; dan
e.
keuntungan
karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda
turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;
5.
penerimaan
kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran
tambahan pengembalian pajak;
6.
bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
7.
dividen,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi
kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8.
royalti
atau imbalan atas penggunaan hak;
9.
sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
10.
penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
11.
keuntungan
karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah;
12.
keuntungan
selisih kurs mata uang asing;
13.
selisih
lebih karena penilaian kembali aktiva;
14.
premi
asuransi;
15.
iuran
yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16.
tambahan
kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
17.
penghasilan
dari usaha berbasis syariah;
18.
imbalan
bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tata cara perpajakan; dan
19.
surplus
Bank Indonesia.
DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PENGHASILAN
KENA PAJAK
Untuk dapat menghitung PPh,
terlebih dahulu harus mengetahui dasar pengenaan pajaknya. Untuk wajib pajak
dalam negeri dan BUT yng menjadi dasar pengenaan pajaknya adalah penghasilan
kena pajak. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
Besarnya penghasilan kena pajak
untuk wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk
wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto dikurangi
penghasilan tidak kena pajak (Mardiasmo, 2018: 161).
Cara menghitung penghasilan kena pajak
1.
Menghitung
PKP dengan Menggunakan Pembukuan
Untuk wajib pajak badan besarnya
PKP sama dengan penghasilan netto, yitu penghasilan bruto dikurangi dengan
biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang PPh. Sedangkan untuk wajib
pajak orang pribadi besarnya penghasilan kena pajak sama dengan penghasilan
netto dikurangi dengan PTKP.
2.
Menghitung
PKP dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto
Apabila dalam menghitung PKP-nya
wajib pajak menggunakan norma penghitugan penghasilan netto, besarnya
penghasilan netto adalah sama besarnya dengan besarnya presentase norma
penghitungan penghasilan netto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau
penerimaan brutopekerjaan bebas setahun.
Wajib pajak yang boleh menggunakan
norma penghitungan penghasilan netto adalah wajib pajak orang pribadi yang
memenuhi syarat:
a.
Peredaran
bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,00 per tahun
b.
Mengajukan
permohonan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun buku
c.
Menyelenggarakan
pencatatan.
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)
Mardiasmo (2018: 167) Bagi Wajib pajak Orang Pribadi
dalam negeri, besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang berlaku mulai 1
Januari 2016 dihitung dengan cara penghasilan neto dikurangi dengan Penghasilan
Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedikit sebesar:
1.
Rp
54.000.000,00 untuk diri Wajib pajak orang pribadi;
2.
Rp
4.500.000,00 tambahan untuk Wajib pajak yang kawin;
3.
Rp
54.000.000,00 tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami, dengan syarat:
a.
Penghasilan
istri tidak semata-mata diterima atau diperoleh dari satu pemberi kerja yang
telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang PPh pasal 21
b.
Pekerjaan
istri tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau
anggota keluarga yang lain.
4. Rp 4.500.000,00 tambahan untuk setiap anggota
keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak
angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk
setiap keluarga.
TARIF PAJAK
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Tarif pajak yang diterapkan atas
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dapat
dilihat pada lampiran 1.1. Tarif tertinggi bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri dapat diturunkan menjadi paling rendah 25% yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap
1.
Wajib pajak
badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28%. Tarif tersebut menjadi 25% yang mulai berlaku sejak tahun pajak
2010.
2.
Wajib pajak
badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit 40%
dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya, dapat memperoleh tarif
sebesar 5% lebih rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
3.
Wajib pajak
badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00
(Mardiasmo, 2018:169).
(Bagian 2) PAJAK PENGHASILAN PASAL 21
PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan (Mardiasmo, 2018: 187).
OBJEK PAJAK PPh PASAL 21
1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh
secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk
untuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang
lembur, tunjangan tunjangan termasuk tunjangan pajak, premi asuransi yang
dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun.
2.
Penghasilan
yang diterima dan diperoleh secara tidak teratur yang berupa jasa produksi,
tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru,
bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap
yang biasanya dibayarkan sekali dalam setahun.
3.
Upah
harian, upah mingguan, upah borongan dan upah satuan.
4.
Uang
Tebusan Pensiun, uang Tabungan Hari Tuan atau Tunjangan Hari Tua (THT), uang
pesangon, dan pembayaran lain sejenis.
5.
Honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi,
beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib pajak dalam negeri.
6.
Gaji,
gaji kehormatan, tunjangan tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang
diterima oleh pejabat negara, PNS dan ABRI serta yang pensiun dan tunjangan
lain yang terkait.
7.
Penerimaan
dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan
oleh bukan Wajib pajak.
8.
Imbalan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau yang diperoleh orang
pribadi dengan status Wajib pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan,
jasa, dan kegiatan (Mardiasmo, 2018: 193).
TARIF PAJAK
Isroah (2013: 59) Tarif pajak yang digunakan menurut UU
No 36 Tahun 2008 pasal 17 bisa dilihat di lampiran 1.1. Tarif Pajak dikenakan:
1.
Atas
Penghasilan Kena Pajak
a.
Pegawai
Tetap
b.
Penerima
pensiun yang dibayarkan secara bulanan
c.
Pegawai
tidak tetap pemagang dan calon pegawai.
2.
Atas
Penghasilan Bruto
a.
Honorarium,
uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi,
beasiswa dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau
kegiatan yang jumlah dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan
untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan.
b.
Honorarium
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang
tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama.
c.
Jasa
produksi, bonus, THR yang diterima atau diperoleh mantan pegawai.
3.
Tarif
15% Final
a. Hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
b.
Penghasilan
yang berupa honorarium dan imbalan lain selain gaji, pensiun dan tunjangan lain
yang terkait dengan gaji, yang dibayarkan kepada pejabat negara, PNS, anggota
ABRI, Pensiunan PNS dan pensiunan ABRI, yang sumber dananya berasal dari
keuangan negara atau daerah.
4.
Tarif
20%
a.
Tarif
PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan pada
penghasilan bruto yang diterima atau yang diperoleh sebagai imbalan atas
pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status
wajib pajak luar negeri.
b.
PPh
Pasal 26 di atas tidak bersifat final dalam hal orang pribadi yang sebagai
wajib pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi wajib pajak dalam
negeri.
(Bagian 3) PAJAK PENGHASILAN PASAL 22
KEGIATAN IMPOR DAN
EKSPOR
Objek dan tarif PPh
Pasal 22
Atas Impor:
1. Barang tertentu (lihat lampiran I PMK No.
34/PMK.010/2017), dikenakan PPh pasal 22 sebesar 10% dari nilai impor
2. Barang tertentu lainnya (lihat lampiran II PMK No.
34/PMK.010/2017), dikenakan PPh pasal 22 sebesar 7,5% dari nilai impor
3. Kedelai, gandum, dan tepung terigu dikenakan PPh pasal 22
sebesar 0,5% dari nilai impor dengan menggunakan Angka Pengenal Impor (API)
4. Barang selain nomor 1, 2, dan 3 diatas yang menggunakan API, dikenakan PPh pasal 22
sebesar 2,5% dari nilai impor.
5. Barang selain nomor 1, 2, dan 3 diatas yang tidak
menggunakan API, dikenakan PPh pasal 22 sebesar 7,5 % dari nilai impor.
6. Barang yang tidak dikuasai, dikenakan PPh pasal 22
sebesar 7,5% dari harga jual lelang.
Yang dimaksud dengan nilai impor adalah nilai
berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk yaitu Cost Insurance and
Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan di bidang impor
Atas ekspor komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif
(liha lampiran IV PMK No. 34/PMK.010/2017) oleh eksportir dikenakan PPh pasal
22 sebesar 1,5% dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam Pemberitahuan
Ekspor Barang. Dikecualikan dari pemungutan PPh pasal 22 adalah ekspor
dilakukan oleh wajib pajak yang terikat dalam perjanjian kerjasama pengusaha
pertambangan dan Kontrak Karya. Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam
Pemberitahuan Pabean Ekspor adalah nilai Free on Board (FOB) yang tercantum
pada Pemberitahuan Pabean Ekspor, termasuk Pemberitahuan Pabean Ekspor yang nilai
ekspornya telah dibetulkan (Mardiasmo, 2018: 257-258).
PEMBELIAN BARANG OLEH BENDAHARAWAN PEMERINTAH
Objek dan tarif PPh Pasal 22
Berkenaan dengan pembayaran atas pembelian
baang yang dilakukan oleh:
1. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau
lembaga kepemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya.
2. Bendahara pengeluaran dengan mekanisme uang persediaan
(UP)
3. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah membayar yang
diberi delegasi oleh KPA, berkenaan pembayaran kepada pihak ketiga yang
dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS)
dikenakan PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai (Mardiasmo, 2018: 259).
PEMBELIAN BARANG OLEH BUMN DAN BADAN USAHA TERTENTU
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Mardiasmo (2018: 260) Berkenaan dengan
pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahn-bahan untuk keperluan kegiatan
usaha oleh badan usaha tertentu, yang meliputi:
1. BUMN
2. Badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan
hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh Pemerintah, dan restrukrurisasi
tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha
Milik Negara lainnya.
3. Badan Usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh
Badan Usaha Milik Negara
dikenakan PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.
PENJUALAN HASIL PRODUKSI INDUSTRI TERTENTU
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Mardiasmo (2018: 261) Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di
dalam ngeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen,
kertas, baja, otomotif dan farmasi:
1. Penjualan semua jenis semen sebesar 0,25%
2. Penjualan kertas sebesar 0,1%
3. Penjualan baja sebesar 0,3%
4. Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau
lebih kecuali alat berat, sebesar 0,45%
5. Penjualan semua jenis obat sebesar 0,3%
Dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
PENJUALAN BAHAN BAKAR MINYAK, BAHAN BAKAR GAS, DAN PELUMAS
Objek da Tarif PPh Pasal 22
Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh
produsen atau importir sebagai berikut:
1. Bahan akar minyak sebesar:
a. 0,25% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual
bahan bakar minyak yang dibeli dari Pertamina atau anak perusahaan Pertamina
b. 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual
bahan bakar minyak yang dibeli selain dari Pertamina atau anak perusahaan
Pertamina.
2. Bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai
3. Pelumas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai (Mardiasmo, 2018:262).
PENJUALAN KENDARAAN BERMOTOR
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Mardiasmo (2018: 263) Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri
oleh Agen Tunggal Pemegang Merek, Agen Pemegang Merek dan importir umum
kendaraan bermotor, tidak termasuk alat berat, dikenakan PPh Pasal 22 sebesar
0,45% dari dasr pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
PEMBELIAN BAHAN-BAHAN UNTUK KEPERLUAN INDUSTRI ATAU EKSPOR
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur,
dikenakan PPh pasal 22 sebesar 0,25% dari harga pebelian tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai (Mardiasmo, 2018: 264).
PEMBELIAN KOMODITAS TAMBANG
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Atas pembelian batu bara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari
badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau
badan usaha dikenakan PPh pasal 22 sebesar 1,5% dari harga pembelian tidak termasuk
Pajak Perttambahan Nilai (Mardiasmo, 2018: 265).
PENJUALAN EMAS
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Atas Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan,
dikenakan PPh pasal 22 sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan (Mardiasmo,
2018: 266).
PENJUALAN BARANG YANG TERGOLONG SANGAT MEWAH
Objek dan Tarif PPh Pasal 22
Atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah, yang meliputi:
1. pesawat Udara Pribadi dengan harga jual lebih besar dari
Rp 20.000.000.000,00
2. kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari
10.000.000.000,00
3. rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari 500m2
4. apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual
atau pengalihannya lebih dari Rp 10.000.000.000,00 dan luas bangunan lebih dari
400m2
5. kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang
dari 10 orang berupa sedan, jeep, sport utility vehicle, multi purpose vehicle,
minibus, dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000, dan
dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc
dikenakan PPh pasal 22 sebesar 5% dari harga jual tidak termasuk PPN dan
PPnBM (Mardiasmo, 2018: 266).
(Bagian 4) PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak
penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib
pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, yang berasal dari modal, penyerahan
jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
PPh pasal 23 dikenakan atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama
dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau
telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam
negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya (Isroah, 2013:85).
OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 23
1.
Sebesar
15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas:
a.
dividen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g;
b.
bunga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f;
c.
royalti; dan
d.
hadiah,
penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e;
2.
Sebesar
2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:
a.
sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b.
imbalan
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21.
(Bagian 5) PAJAK PENGHASILAN PASAL 24
Isroah (2013:90) PPh pasal 24 ayat 1 menyatakan
bahwa pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari
luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun
pajak yang sama. Ayat 2 besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini. Ayat 3 dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh
dikreditkan, sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
1. penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara
tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan;
2. penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan
atau berada;
3.
penghasilan
berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak adalah negara tempat
harta tersebut terletak;
4. penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada;
5. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan;
6. penghasilan dari pengalihan sebagian atau
seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;
7. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah
negara tempat harta tetap berada; dan
8. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi
bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
berada.
PPh pasal 24 merupakan kredit pajak luar negeri
yang dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan
penghasilan di Indonesia. Indonesia menganut tax credit yang ordinary
credit dengan menerapkan per country limitation.
PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Mardiasmo (2018: 283) Penggabungan penghasilan
yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
1. Penggabungan penghasilan dari usaha di dalam
tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut (accrual basis)
2. Penggabungan penghasilan dari usaha di dalam
tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut (cash basis)
3. penggabungan penghasilan yang berupa dividen
(pasal 18 ayat 2 UU No. 10/1994) dilakukan dalam tahun pajak pada saat
perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan.
(Bagian 6) PAJAK PENGHASILAN PASAL 25
Ketentuan Pasal 25 Undang-Undang
Pajak Penghasilan mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan.
Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan
dengan:
1.
Wajib
Pajak membayar sendiri (PPh pasal25)
2.
Melalui
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21,22,23 dan 24)
CARA MEGHITUNG BESARNYA PPh PASAL 25
Besarnya angsuran pajak dalam
tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan
adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
Pajak Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi:
1.
Pajak
penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23,
serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam pasal 22
2.
Pajak
Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24.
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian
tahun pajak (Mardiasmo, 2018:291).
(Bagian 7) PAJAK PENGHASILAN PASAL 26
Pajak penghasilan pasal 26 mengatur
tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima
atau diperoleh wajib pajak luar negeri selain Bentuk Usata Tetap. Penghasilan
yang dipotong PPh pasal 26 adalah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk
apapun, yang diterima atau diperoleh wajib pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia (Isroah, 2013:101)
OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 26
1. dividen, bunga, termasuk premium, diskonto, dan
imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang, royalty, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran
berkala lainnya. Besarnya tarif pemotongan adalah 20% dari jumlah bruto.
2. penghasilan dari penjualan harga di Indonesia
(termasuk capital gain) kecuali yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) Undang
Undang Pajak Penghasilan, dan premi asuransi dan premi reasuransi dibayarkan
kepada perusahaan asuransi luarnegeri. Besarnya tarif pemotongan adalah 20%
dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto untuk
premi asuransi dan premi reasuransi yang dibayarkan pada perusahaan asuransi
luar negeri adalah sebagai berikut :
a. atas premi yang dibayar tertanggung kepada
perusahaan asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang,
sebesar 50% dari jumlah premi yang dibayar.
b. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan
asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada perusahaan asuransi di luar
negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% dari jumlah
premi yang dibayar.
c. Atas premi yang dibayar oleh perusahaan
reasuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar
5% dari jumlah premi yang dibayar.
3. Atas penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak penghasilan dari suatu BUT di Indonesia, kecuali ditanamkan kembali di
Indonesia, maka dikenakan tarif pemotongan sebesar 20% adalah penanaman kembali
atas penghasilan tersebut harus memenuhi ketiga syarat sebagai berikut :
a. Penanaman kembali dilakukan dalam bentuk
penyertaan modal pada perusahaan yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
sebagai pendiri atau peserta pendiri.
b. Perusahaan baru yang didirikan dan berkedudukan
di Indonesia sebagaimana dimaksud huruf a, harus secara aktif melakukan
kegiatan usaha sesuai dengan akta pendiriannya, paling lama satu tahun sejak
perusahaan tersebut didirikan.
c. Penanaman kembali dilakukan dalam tahun pajak
berjalan atau selambat lambatnya tahun pajak berikutnya
d. Tidak mengalihkan penanaman kembali tersebut
sekurang kurangnya dalam jangka waktu 2 tahun setelah perusahaan tempat
penanaman dilakukan berproduksi komersil (Isroah, 2013:102).
(Bagian 8) PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2
(PPh yang Bersifat Final)
Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pajak
Penghasilan mengatur tentang pengenaan pajak pada penghasilan tertentu.
Penghasilan tertentutu yaitu, penghasilan berupa bunga deposito, tabungan,
diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI), hadiah undian, serta penghasilan yang
berasal dari pengalihan hak atas tanah dan atau banguna, persewaan tanah dan
atau bangunan, dan transaksi penjualan sahan di bursa efek (Isroah, 2013:104).
OBJEK DAN TARIF PPh PASAL 4 AYAT 2
1. tarif dua puluh persen (20%) dari jumlah bruto
atas bunga dan diskonto yang terutang atau dibayarkan kepada penerima
penghasilan baik orang pribadi maupun badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
di Indonesia.
2. tarif dua puluh persen (20%) dari jumlah bruto
atau sesuai dengan tarif yang ditetapkan dalam perjanjian penghindaran pajak
berganda (tax treaty) atas bunga dan diskonto yang terutang atau
dibayarkan kepada penerima pengahsilan wajib pajak luar negeri, baik orang
pribadi maupun badab selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
3. tarif dua puluh lima persen (25%) dari jumlah
bruto dan bersifat final atas penghasilan berupa hadiah undian.
4. tarif lima persen (5%) dari jumlah bruto nilai
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan,
5. tarif sepuluh persen (10%) dari jumlah bruto
nilai persewaan tanah dan atau bangunan (berlaku mulai 1 Mei 2002
6. tarif satu per mil (0,1%) dari jumlah bruto
nilai transaksi penjualan saham baik untuk saham biasa maupun saham pendiri,
7. tarif dua persen (2%) dari nilai kontrak jasa
konstruksi, bagi pelaksana konstruksi yang dilakukan oleh penyesia jasa yang
memiliki kualifikasi usaha kecil.
8. tarif empat persen (4%) dari nilai kontrak jasa
konstruksi, bagi pelaksana konstruksi yang dilakukan oleh penyesia jasa
yangtidak memiliki kualifikasi usaha.
9. tarif tiga persen (3%) dari nilai kontrak jasa
konstruksi, bagi pelaksana konstruksi yang dilakukan oleh penyesia jasa yang
tidak memiliki kualifikasi usaha menengah atau besar.
10.
tarif
empat persen (4%) dari nilai kontrak perencanaan konstruksi, atau pengawasan
konstruksi memiliki kualifikasi usaha.
11.
tarif
enam persen (6%) dari nilai kontrak perencanaan konstruksi, atau pengawasan
yang tidak memiliki kualifikasi usaha (Isroah, 2013:105).
BAB IV
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA SERTA PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Undang-undang yang mengatur pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) adalah
Undang-Undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dangan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. Undang-undang ini disebut
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Mardiasmo, 2018:321).
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai Pajak
Beberapa barang yang tidak dikenai pajak
pertambahan nilai adalah barang tertentu dalam kelompok berikut:
1. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya;
2. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak;
3. makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman
baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang
diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
4.
uang, emas
batangan, dan surat berharga.
Beberapa jasa yang tidak dikena pajak
pertambahan nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok berikut: jasa pelayanan
kesehatan medis; jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan
perangko; jasa keuangan; jasa asuransi;
jasa keagamaan; jasa pendidikan; jasa kesenian dan hiburan; jasa penyiaran yang
tidak bersifat iklan; jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
jasa angkutan udara luar negeri; jasa tenaga kerja; jasa perhotelan; jasa yang
disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
jasa penyediaan tempat parkir; jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau katering.
Objek Pajak Pertambahan Nilai
1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam daerah Pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh pengusaha
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar
daerah pebean di dalam daerah pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena
pajak
7. Ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha
Kena pajak
8. Kagiatan Pembangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya
digunakan sendiri atau digunakan pihak lain
9. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh PKP, kecuali atas penyerahan
aktiva yang pajak masuknya tidak dapat dikreditkan (Mardiasmo, 2018: 330)
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Objek dan Subjek Pajak Penjualan pada Barang Mewah
Objek pajak penjualan atas barang mewah
adalah penyerahan barang berwujud yang tergolong mewah dan impor barang
berwujud yang tergolong mewah.Yang bertindak sebagai subjek pajak penjualan
atas barang mewah adalah pengusaha pajak yang menghasilkan barang kena pajak
yang tergolong mewah di dalam daerah pabean, dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaanya dan pengusaha yang mengimpor barang yang tergolong mewah.
TARIF PAJAK
Pajak Pertambahan Nilai
Tarif pajak pertambahan nilai merupakan tarif
tunggal yaitu sebesar sepuluh persen (10%) dari dasar pengenaan pajak, dan
tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
1. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
2. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
3. ekspor Jasa Kena Pajak.
Berdasarkan pertimbanga perkembangan ekonomi
dan atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah diberi
wewenang mengubah tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi paling rendah 5% dan
paling tinggi 15% dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
Pajak Penjalan Atas Barang Mewah
Tarif Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif paling rendah
10% dan paling tinggi 200%. Ketentuan mengenai tarif kelompok BKP yang
tergolong mewah yang dikenai PPnBM dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan untuk
JKP yang dikenai PPnBM diatur dengan atu berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan. Atas ekspor BKP yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0%
(nol persen) (Mardiasmo, 2018: 334).
BAB V
BEA MATERAI
Dasar hukum pengenaan bea materai adalah Undang Undang Nomor 13
tahun 1985 atau disebut juga Undang Undang Bea Materai 1985, Undang Undang ini
berlaku sejak tanggal satu Januari 1986, selain itu untuk mengatur
pelaksanaannya, telah dikelurkan peraturan pemerintah No. 7 tahun 1995 tetang
perubahan tarip bea materai yang berlaku sejak tanggal 16 Mei 1995 dan terahkir
PP No. 24 Tahun 2000 mulai berlaku 1 Mei 2000 (Isroah,
2013:148).
PRINSIP UMUM PEMUNGUTAN ATAU PENGENAAN BEA
METERAI
1. Bea materai dikenakan atas dokumen (merupakan
pajak atas dokumem)
2. Satu dokumen hanya teruntang satu bea materai
3.
Rangkap atau
tindasan (yang ikut di tanda tangani) tentang bea materai sama dengan aslinya.
TARIF BEA MATERAI
Tarif Bea Meterai Rp6.000,00 Dikenakan atas
Dokumen:
1. Surat perjanjian dan surat surat lainnya
(antara lain: surat kuasa, surat hibah dan 149 surat pemyataan).
a. Dibuat dengan tujuan digunakan sebagai alat
pembuktian
b. Mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
c. bersifat perdata
2. Akta-akta notaris termasuk salinannya
3. Akta yang dibuat oleh pejabat akta tanah (PPAT)
termasuk rangkap-rangkapnya.
4. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp
1.000.000,00
a. Yang menyebutkan penerimaan uang
b. yang menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang
dalam rekening bank.
c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di
bank
d. yang berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian
atau seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.
5. Surat surat berharga seperti wesel, promes, dan
aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp1.000.000,00
6. Efek dengan nama dan dalam atau bentuk: apapun
sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp1.000.000.00
7. Dokumen-dokumen yang akan digunakan untuk bukti
pengadilan.
a. Surat surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan.
b. Surat surat yang semula tidak dikenakan bea
materai berdasarkan tujuannya jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan
untuk orang lain selain dari maksud semula. (Mardiasmo, 2018: 352).
C. Tarif meterai Rp 3.000,00 Dikenakan Atas
Dokumen
1. Surat yang mempunyai harga nominal lebih dari
Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp1.000.000,00 dengan kriteria:
a. Menyebutkan penerimaan uang
b. Menyatakan pembukuan atau penyimpanan uang
dalam rekening di bank.
c. Berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
d. Berisi pengakuan bahwa utang uang sebagian atau
seluruhnya telah dilunasi atau diperhitungkan.
2. Surat surat berharga seperti wesel, promes, dan
aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp250.000,00 tapi tidak lebih dari
Rp1.000.000,00
3. Efek dengan nama dan dalam atau bentuk apapun
sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp
1.000.000,00
4. Cek dan Bilyet giro dengan harga nominal
berapapun. Apabila dokumen (kecuali cek dan bilyet giro) mempunyai nominal
tidak lebih dari Rp250.000,00 tidak terutang bea materai. (Mardiasmo, 2018:
353).
BAB VI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atas
bumi dan atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Dasar hukum pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah undang undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana
telah diubah dengan Undang undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan (Isroah, 2013:136).
SUBJEK DAN OBJEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
Subjek Pajak
Subjek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan
adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh
manfaat atas bangunan. Subjek pajak ini sekaligus menjadi wajib pajak Pajak
Bumi dan Bangunan.
Objek Pajak
1. Objek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi,
dan atau bangunan.
2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah
pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai
pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.
3. Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan
adalah: digunakan untuk melayani kepentingan umum semata; untuk kuburan;
merupakan hutan indung; digunakan untuk perwakilan diplomatik dan digunakan
badan perwakilan organisasi internasional.
4. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk
penyelenggaraan pemerintah, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
5. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar
setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang
wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah
satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap
dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. (Mardiasmo, 2018: 365).
TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN PBB
Mardiasmo (2018: 369) Tarif yang dikenakan
atas objek pajak sebesar 0,5%. Dan dasar pengenaan pajaknya adalah NJOP,
sedangkan dasar penghitungan pajaknya ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan
setinggi-tingginya 100% sesuai Peraturan Pemerintah.
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan
mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak yang dikalikan lagi dengan
selisih NJOP dan NJOPTKP.
BAB VII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Dasar Hukum BPHTB adalah Undang-Undang No. 21
Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000
tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Undang-undang ini
menggantikan Ordonasi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 No. 291. Undang-Undang No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Mardiasmo, 2018: 396).
SUBJEK DAN OBJEK BPHTB
Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Sedangkan objek pajak BPHTB
adalah:
1. Pemindahan hak karena: jual beli; hibah; warisan;
pemasukan dalam perseroan; peleburan, penggabungan dan pemekaran usaha; hadiah;
penunjukan pembeli dalam lelang; pelaksanan putusan hakim;pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan.
2. Pemberian hak baru karena: kelanjutan pelepasan hak dan
di luar pelepasan hak.
TARIF BPHTB DAN CARA MENGHITUNG BPHTB
Besarnya tarif pajak ditetapkan dengan
Peraturan Daerah dan ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. Sedangkan cara
menghitung BPHTB adalah selisih antara Nilai Perolehan Objek Pajak dan Nilai
Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak dikalikan dengan tarif pajak (Mardiasmo,
2018: 399).
DAFTAR PUSTAKA
Utara, Agus Sutrija. 2011. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Pajak.
Suparnyo. 2012. Hukum Pajak Suatu Sketsa Asas. Semarang: Pustaka
Magister Semarang.
Isroah. 2013. Perpajakan. Yogyakarta: t.tp.
Mardiasmo. 2018. Perpajakan, Edisi Terbaru 2018. Yogyakarta: CV Andi
Offset.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tarif pajak pasal 17 Undang-Undang No.36
Tahun 2008.
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
sampai dengan Rp50.000.000,00
di atas Rp50.000.000,00 s.d
Rp250.000.000
di atas Rp250.000.000,00 s.d
Rp500.000.000,00
di atas Rp500.000.000,00
|
5%
15%
25%
30%
|