BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam pengertian sehari-hari,
manusia merupakan bagian anggota masyarakat yang memiliki upaya pemenuhan
kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk itu warga masyarakat tidak terlepas dari
konsumsi, yaitu pengeluran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam
suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran konsumsi terutama
dalam konsumsi rumah tangga, memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas
perekonomian. Karena pada kenyataannya pengeluaran konsumsi rumah tangga
mencapai tiga hingga enam kali lipat konsumsi pemerintahan.
Konsumsi
merupakan seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini agar
dapat menjalankan peranannya sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal yang
dilakukan di dunia ini tidak terlepas dari norma-norma dan ajaran Islam. Dalam
Islam telah diatur bagaimana hendaknya
manusia berperilaku dalam konsumsi.
Makalah ini
akan membahas tentang konsumsi dalam islam dan teorinya dibandingkan dengan
teori konsumsi konvensional.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian konsumsi Islam?
2.
Bagaimankah
teori konsumsi menurut beberapa ahli?
3.
Bagaimana teori konsumsi
Islam?
4.
Bagaimana prinsip dasar
konsumsi dalam Islam?
C. TUJUAN PEMBAHASAN
1.
Untuk mengetahuipengertian
konsumsi Islam.
2.
Untuk mengetahui teori konsumsi
menurut beberapa ahli.
3.
Untuk mengetahui teori
konsumsi Islam.
4.
Untuk mengetahui prinsip
dasar konsumsi dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM KONSUMSI
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan
baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya
sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di
dunia dan akhirat (falah).
Dalam ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk
kebaikan merupakan ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi
(1997), dalam melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada
barang yang halal dan baik dengan cara berhemat (saving),
berinfak (mashlahat) serta men-jauhi judi, khamar, gharar
dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan manusia
(terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan
menghindari hutang. Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi terhadap barang
yang halal, dengan proses yang halal dan cara yang halal, sehingga akan
diperoleh man-faat dan berkah.
Islam memandang bahwa bumi dengan segala
isinya merupakan bahwa bumi dengan
segala isinya merupakan 5SWT kepada sang khalifah agar dipergunanakan
sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Salah satu pemanfatan yang telah
diberikan kepada sang khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit
lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang
khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah
Sang Pencipta. Dasar yang benar itu merupakan sumber hukum yang telah
ditetapkan dan harus diikuti oleh penganut Ilsma.
Hasan Sirry menyatakan bahwa sumber
hukum tersebut terdiri dari dua bagian; a). Sumber yang berasal dari ayat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah Rasulnya yang terpercaya dan b). Ijtihad para ahli fiqih
yang disesuaikan dengan keadaan zaman, tempat/kedudukan dan lingkungan solial.
a.
Sumber yang Berasal dari Ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul
1)
Sumber yang ada dalam al-Qur’an yang menunjukkan dasar
Sumber hukum konsumsi yang tercantum dalam al-Qur’an adalah,
Artinya:
Makanlah dan munimlah, namun janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(Al A’raf :31)
2)
Sumber yang ada dalam Sunnah Rasul
Sementara itu, sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah,
Artinya:
Abu Said Al-Chodry r.a. berkata: Ketika kami dalam berpergian
bersama Nabi saw. Mendadak datang seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke
kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi:
“Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak
mempunyai kendaraan. Dan siapa ynang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan
pada orang yang tidak berbekal. “Kemudian Rasullah menyebut berbagai macam
jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang
lebih dari kebutuhan hajatnya.
b.
Ijtihad para
Ahli Fiqh
Ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk
menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat.
B.
TEORI KONSUMSI MENURUT BEBERAPA AHLI
a.
Teori John Maynard Keyness
Mengemukakan bahwa konsumsi
ditentukan oleh pendapatan, dalam Theory Keyness menamakan Absolute Incame
Hypothesis (hypothesis pendapatan mutlak).
Ada tiga ciri penting dari teori
pendapatan mutlak, Pertama tingkat konsumsi rumah tangga pada suatu periode
ditentukan oleh pendapatan disposable, semakin tinggi tingkat pendapat
disposable simakin banyak tingkat konsumsi yang akan dilakukan oleh rumah tangga.
Kedua apabila pendapatan disposible meningkat maka tingkat konsumsi juga akan
meningkat tetapi dalam jumlah yang lebih kecil
dari peningkatan pendapatan, atau dengan kata lain kecenderungan konsumsi
marginal nilainya lebih besar dari nol tetapi lebih kecil dari satu.
Berdasarkan hasil observasi bahwa sikap konsumsi masyarakat pada tingkat
pendapatan rendah mempunyai MPC yang lebih tinggi dibanding dengan MPC pada
tingkat pendapatan tinggi. Atau dengan kata lain MPC semakin menurun jika
pendapatan semakin meningkat. Ketiga walaupun seseorang atau keluarga tidak
mempunyai pendapatan, mereka tetap melakukan pembelian untuk konsumsi karena
mereka perlu makan, beli pakaian dan sewa rumah. Pembelanjaan konsumsi seperti
ini dipandagn sebagai konsumsi otonomi yang tidak dipengaruhi oleh faktor lain.
b.
Teori Franco Modigliani
Franco Modigliani
berpendapat bahwa kegiatan konsumsi adalah kegiatan seumur hidup. Oleh karena
itu, ia membuat hipotesis tentang berapa banyak jumlah yang dikonsumsi
seseorang tergantung pada tingkat pendapatan yang berubah secara teratur
(regular pattern) sepanjang kehidupan seseorang, dan tabungan juga mengikuti
perubahan pendapatan tersebut. Hal ini disebut life-cycle hypothesis.Model
siklus hidup membagi perjalanan hidup manusia menjadi tiga periode sebagai
berikut :
1. Periode Belum Produktif. Periode ini
berlangsung sejak manusia lahir, bersekolah, dan bekerja pada kali pertama.
Biasanya berkisar antara nol sampai dua puluh tahun.
2. Periode Produktif. Periode ini
berlangsung antara usia dua puluh sampai enam puluh tahun. Selama periode ini
manusia mulai dapat meraih tingkat penghasilan yang meningkat sehingga sudah
dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya sendiri.
3. Periode Tidak Produktif Lagi. Periode
ini berlangsung di atas umur enam puluh tahun.
c.
Teori Friedman
Dengan teorinya hipotesis
pendapatan permanen mengemukakan
bahwa konsumsi rumah tangga ditentukan oleh pendapatan jangka panjang. Menurut
hipotesis pendapat permanen, tingkat konsumsi seseorang pada waktu tertentu
bukan bukan ditentukan oleh pendapatan yang sebenarnya diterima
pada waktu tersebut. Misalkan seorang pedagang kain selama tiga tahun
belakangan ini mendapatkan pendapatan bersih yaitu pendapatan yang diterima
setelah dikurangi modal membeli kain, gaji pekerja dan sewa, berturut-turut
sebanyak Rp 10 juta, Rp 12 juta, dan Rp 17 juta. Berarti rata-rata dalam tiga
tahun dalam belakangan ini pedagang tersebut memperoleh pendapatan sebanyak Rp
13 per tahun. Menurut hipotesis pendapat permanen, konsumsi pedagang tersebut
pada masa kini akan didasarkan pada pendapatan permanen, yaitu pendapatan
sebanyak Rp 13 juta dan bukan kepada pendapatan terakhir yang diperoleh yaitu
Rp 17 juta.
Dalam hipotesisnya
dikemukakan bahwa konsumsi tergantung dari pendapatan permanen seseorang. Yang
dimaksud pendapatan permanen ini adalah tingkat pendapatan rata-rata yang
diharapkan akan diperoleh dalam jangka panjang. Sumber pendapatan permanen ini
bisa berasal dari pendapatan upah/gaji, maupun dari non-upah (misalnya uan
sewa).
Pendapatan permanen
akan meningkat bila individu menilai kualitas dirinya baik dan mampu bersaing
dengan orang lain untuk memperoleh pendapatan. Dengan keyakinan tersebut, maka
harapannya akan upah yang akan diterima dan kekayaan yang dimilikinya akan
meningkat pula.
Pendapatan saat ini
tidak selalu sama dengan pendapatan permanen. Hal ini disebabkan oleh adanya
pendapatan yang tidak permanen yang besarnya berubah-ubah. Pendapatan inilah
yang disebut dengan pendapatan transitori.
MPC
(Marginal Prospensity to Consume)
MPC (Marginal
Prospensity to Consume) atau kecenderungan mengkonsumsi marjinal merupakan
perbandingan antara pertambahan konsumsi dengan pertambahan pendapatan yang
diperoleh. Dengan kata lain, MPC dipakai untuk mengukur rasio perubahan
konsumsi terhadap perubahan pendapatan. Berapa banyak konsumsi akan bertambah
jika pendapatan seseorang untuk dibelanjakan (pendapatan disposabel) meningkat.
Karena itulah angkanya berkisar antara 0 dan 1. MPC bisa saja lebih dari angka
1 jika orana tersebut meminjam uang untuk membayar pengeluaran yang lebih
tinggi daripada pendapatannya. Angka MPC juga tidak mungkin negatif, karena
manusia tidak mungkin hidup tanpa mengkonsumsi barang atau jasa.
APC (Average
Prospensity to Consume)Kecondongan mengkonsumsi rata-rata merupakan
perbandingan antara tingkat pengeluaran konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan
disposabel pads saat konsumsi tersebut dilakukan (Yd).
d.
Teori James Duesenberry
Dengan teorinya Hipotesis Pendapatan Relatif membuat
dua asumsi; pertama, selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah
interdependent, yaitu terpengaruh atas pengeluaran yang dilakukan oleh
tetangganya. Kedua, pengeluaran konsumsi adalah Irreversible, artinya pola
pengeluaran pada saat penghasilan naik berbeda pada saat pola pengeluaran pada
saat penghasilan menurun.
Duesenberry menyatakan bahwa teori
konsumsi atas dasar penghasilan absolute sebagaimana dikemukakan oleh Keynes
tidak mempertimbangkan aspek psichologi konsumen. Duesenberry menyatakan bahwa
pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat tergantung pada posisi rumah tangga
tersebut pada masyarakat sekelilingnya, apabila konsumen senantiasa melihat
pola konsumsi tetangganya yang lebih
kaya, maka ada efek demonstrasi. Akan tetapi, peniruan pola konsumsi tetangga
harus dianalisis dengan melihat kedudukan relatif rumah tangga tersebut pada
masyarakat sekelilingnya. Misal, sebuah rumah tangga yang berpenghasilan Rp 3
juta per bulan dan tinggal di daerah yang rata-rata penghasilan masyarakatnya
sebesar Rp 500.000,- akan cenderung untuk menabung lebih banyak dan konsumsi
lebih sedikit sebab penghasilannya relatif lebih tinggi dari masyarakat
sekitarnya dan sebaliknya.
Dari fungsi konsumsi jangka panjang
tersebut Duesenberry memperoleh fungsi konsumsi jangka pendek yang didasarkan
pada asumsi kedua. Beasrnya pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh besarnya
pendapatan tertinggi yang pernah dicapai. Apabila terjadi kenaikan pendapatan,
maka pengeluaran konsumsi akan cenderung meningkat dengan proporsi tertentu.
Sendangkan apablia benpadatan turun, maka pngeluaran konsumsi juga turun akan
tetapi proporsinya lebih kecil dari pada proporsi kenaikan pengeluaran konsumsi akibat kenaikan
pendapatan.
Jika dalam keadaan tidak ada
perusahaan, tidak ada pemerintah, dan tidak sektor luar negeri, maka pendapatan
nasional keseimbangan (equilibrium) dicapai pada saat konsomsi sama dengan
pendapatan nasional, dan tabungan sama dengan nol.
e. Teori Irving Fisher
Menurut Irving Fihser, seseorang akan memutuskan
berapa banyak pendapatan yang dikonsumsi dan berapa banyak yang ditabung dengan
mempertimbangkan kondisi pada saat ini dan di masa depan. Semakin banyak ia
dikonsumsi saat ini, maka akan sedikit yang dapat ia konsumsi di masa depan.
Fisher menunjukkan kendala yang dihadapi konsumen
dan bagaimana mereka memilih antara konsumsi dan tabungan. Mesyarakat rasional
akan berusaha menambah jumlah barang dan mutu barang atau jasa yang dikonsumsi.
Masyarakat yang mengkonsumsi lebih sedikit dari yang sebenarnya terjadi karena
keterbatasan anggaran (budget constraint).
Ketika mereka harus memutuskan berapa yang harus
dikonsumsi saat ini dan berapa yang harus ditabung, mereka menghadapi apa yang
disebut intertemporal budget constraint.
C. PRINSIP DASAR KONSUMSI DALAM
ISLAM
Etika ilmu
ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan materi yang luar biasa
sekarang ini, untuk mengurangi energy manusia dalam mengejar cita-cita
spiritualnya. Perkembangan batiniah yang bukan perluasan lahiriah telah
dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modern dunia
barat sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin,
namun rupanya mengalihkan tekanan kea rah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan
material. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar,
antara lain;
1.
Prinsip Keadilan
Syarat ini
mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari reaeki secara halal dan
tidak dilarang hokum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang adalah
darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi dan daging binatang
yang ketika disembelih tidak disebutkan nama selain Allah, seperti yang
tertulis dalam al-Qur’an surat Albaqarah ayat 173. Tiga golongan pertama yang
dilarang karena hewan-hewan itu berbahaya bagi tubuh, sebab yang berbahaya bagi
tubuh juga berbahaya bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala
sesuatu yang langsung membahyakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal
ini sama dengan mempersekutukan Allah. Kelonggaran diberikan kepada orang-orang
yang terpaksa dan bagi orang-orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai
makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang
dianggap perlu untuk kebutuhan saat itu juga.
2.
Prinsip
Kebersihan
Syarat yang ke
dua ini tercantum dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang makanan. Makanan
yang akan dikonsumsi haruslah baik dan cocok untuk dimakan, yang berarti tidak
kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.
Prinsip ini
memiliki manfaat bagi kesehatan, karena bila semua orang menerapkan prinsip ini
denga baik maka akan kecil kemungkinan tubuhnya terkena penyakit. Dengan makan
makanan yang bersih badan akan menjadi sehat dan tentunya akan tumbuh jiwa yang
kuat. Dengan tubuh dan jiwa yang kuat tentunya orang muslim tidak akan
terhalang dalam melakukan ibadah sehari-hari. Selain itu kebersihan juga
merupakan sebagian dari iman.
3.
Prinsip
Kesederhanaan
Prinsip ini
mengatur perilaku manusia dalam melakukan konsumsi. Dalam prinsip ini diajarkan
bahwa tidak baik bila seseorang itu berlebihan. Seperti yang tercantum dalam
al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 87, yang artinya; “hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu,
dan janganlah kamu melampaui batas”. Arti penting dalam ayat ini adalah kurang
maka adalah dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian juga bila
perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya bagi perut. Maka
hendaklah orang-orang muslim hidup sederhana saja. Baik itu dalam makanan
ataupun dalam belanja sehari-hari. Karena dengan hidup sederhana tidak akan
menjadikan seseorang bersikap sombong terhadap yang lain. Hendaklah kebutuhan
hidup dipenuhi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, yang berarti tidak
membelanjakan harta untuk barang-barang yang tidak perlu.
4.
Prinsip
Kemurahan Hati
Dengan
menaati perintah Islam yang tidak ada
bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan
Tuhan karena kemurahan hatinya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan
hidup dan dan kesehatan yang lebih baik, dengan tujuan untuk menunaikan
perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya. Kemurahan hati
Allah tercermin dari Qs.Almaidah ayat 93, yang artinya; “Dihalalkan bagimu
binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang
lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah
kepada Allah yang kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan. Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa,
hendaknya seseorang senantiasa bersyukur atas kemmurahan hati Allah. Karena
dengan kemurahannya kita dapat makan dan minum makanan yang lezat, dimana itu
merupakan kebutuhan pokok dalam hidup. Dan dengan prinsip ini tidak akan
menjadikan manusia lupa bahwa semua kenikmatan yang didapat adalah berasal dari
Allah karena kemurahan hati-Nya.
5.
Prinsip
Moralitas
Prinsip ini
menekankan pada tujuan akhir dalam konsumsi, yaitu bukan hanya sekedar
terpenuhinya kebutuhan tubuh, melainkan untuk peningkatan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan,
dan berterimakasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan measakan
kehadiran Tuhan pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini
sangat penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material
dan spiritual yang seimbang.
D. TEORI KONSUMSI DALAM ISLAM
1. Arti dan Tujuan Konsumsi Islam
Nilai
ekonomi tertinggi dalam Islam adalah falah atau kebahagiaan
umat di dunia dan di akhirat yang meliputi material, spritual, individual dan
sosial. Kesejahteraan itu menurut Al Ghazali adalah mashlaha
(kebaikan). Karena itu, falah adalah manfaat yang diperoleh dalam
memenuhi kebutuhan ditambah dengan berkah (falah = manfaat + berkah).
Jadi yang menjadi tujuan dari ekonomi Islam adalah tercapainya atau
didapatkannya falah oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Ini
artinya dalam suatu masyarakat seharusnya tidak ada seorangpun yang hidupnya
dalam keadaan miskin.
Dalam
upaya mencapai atau mendapatkan falah tersebut, manusia menghadapi
banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan atau upaya
mencapai falah menjadi masalah dasar dalam ekonomi Islam. Mendapatkan falah
dapat dilakukan melalui konsumsi, produksi dan distribusi berdasarkan syariat
Islam. Hal itu berarti bahwa setiap aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi,
produksi dan distribusi harus selalu mengacu pada fiqih Islam, mana yang boleh,
mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan. Eksistensi keimanan dalam
prilaku ekonomi Islam manusia menjadi titik krusial termasuk dalam konsumsi,
produksi maupun distribusi.
Parameter
kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu saja parameter
dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang tinggi, yaitu
memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini merupakan amal
shaleh. Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain mendapat manfaat dan
berkah untuk pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan baik bukan
sebaliknya.
Islam
melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi diluar
dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang
sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali.
Seorang
muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya
sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajib-kan untuk
mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat yang membutuhkan
(miskin) sesuai dengan aturan syariah yaitu melalui Zakat, Infak, Sedekah
dan Wakaf (ZISWA). Masyarakat yang tidak berpunya atau miskin berhak untuk
menerima ZISWA tersebut sebagai bentuk distribusi kekayaan. Intinya bahwa
tingkat konsumsi seseorang itu (terutama Muslim) didasarkan pada tingkat
pendaapatan dan keimanan. Semakin tinggi pendapatan dan keimanan sesorang
maka semakin tinggi pengeluarannya untuk hal-hal yang bernilai ibadah sedangkan
pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak akan banyak pertambahannya
bahkan cenderung turun. Karena
itu, konsumsi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
Konsumsi = Maslahah = Manfaat + Berkah
Dengan
mengkonsumsi sesuatu, maka diharapkan akan didapat manfaat, yang dapat dirinci
sebagai berikut:
1.
Manfaat
material, seperti murah, kaya, dan lainnya.
2.
Manfaat
fisik/psikis meliputi rasa aman, sehat, nyaman dan lain sebagainya.
3.
Manfaat
intelektual, seperti informasi, pengetahuan dan lainnya.
4.
Manfaat
lingkungan, eksternalitas positif.
5.
Manfaat
secara inter-generational dan antar-generationnal, yaitu adanya
kelestarian, bermanfaat untuk keturunan dan generasi yang akan datang.
Sedangkan
berkah yang diharapkan didapat dari aktivitas konsumsi tersebut yaitu:
1.
Kehalalan
barang dan jasa yang dikonsumsi.
2.
‘Idak
Israf artinya memberikan kegunaan bagi yang mengkonsumsinya maupun bagi yang
lainnya
3.
Mendapat
Ridho Allah.
3.
Prilaku Konsumsi Islami
Dalam
melakukan kegiatan konsumsi, Islam telah mengaturnya secara baik. Prilaku
konsumsi Islami membedakan konsumsi yang dibutuhkan (needs) yang dalam
Islam disebut kebutuhan hajat dengan konsumsi yang dinginkan (wants)
atau disebut syahwat. Konsumsi yang sesuai kebutuhan atau hajat
adalah konsumsi terhadap barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan untuk
hidup secara wajar. Sedangkan konsumsi yang disesuai dengan keinginan atau syahwat
merupakan konsumsi yang cenderung berlebihan, mubazir dan boros.
Dalam
melakukan konsumsi yang bersifat me-menuhi keinginan (wants) atau
syahwat adalah konsumsi yang kurang bahkan tidak mempertimbangkan;
1.
Apakah
yang dikonsumsi tersebut ada maslahanya atau tidak
2.
Tidak
mempertimbangkan norma-norma yang disyariat-kan dalam Islam.
3.
Kurang
atau tidak mempertimbangkan akal sehat.
Konsumsi
yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yang disebut hajat merupakan
konsumsi yang betul-betul dibutuhkan untuk hidup secara wajar dan memperhatikan
maslahatnya. Artinya konsumsi tersebut dilakukan karena barang dan jasa yang
dikonsumsi mempunyai maslahat dan dibutuhkan secara riil serta memperhatiakan
normanya. Mempunyai mashlahat itu artinya bahwa barang dan jasa yang dikonsumsi
mem-berikan manfaat untuk kehidupan dan berkah untuk hari akhirat.
Konsumsi
yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yaang bersifat hajat ini dapat pula
dibagi dalam 3 (tiga) sifat yaitu :
1.
Kebutuhan (hajat)
yang bersifat dhoruriyat yaitu kebutuhan dasar dimana apabila
tidak dipenuhi maka kehidupan termasuk dalam kelompok fakir seperti sandang,
pangan, papan, nikah, kendaraan dan lain lain.
2.
Kebutuhan (hajat)
yang bersifat hajiyaat yaitu pemenuhan kebutuhan (konsumsi) hanya
untuk mempermudah atau menambah kenikmatan seperti makan dengan sendok. Kebutuhan
ini bukan merupakan kebutuhan primer.
3.
Kebutuhan
(hajat) yang bersifat tahsiniyatyaitu kebutuhan di atas hajiyat
dan di bawah tabzir atau kemewahan
Selain
hal-hal di atas yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam aktivitas konsumsi,
ada hal-hal lain yang juga perlu menjadi perhatian. Hal-hal lain yang perlu
diperhatikan dalm konsumsi yaitu;
1.
Memenuhi
kebutuhan diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat baru orang yang memerlukan
bantuan.
2.
Penuhi
dulu dhoruriyat, hajiyat kemudian baru tahsi-niyat.
3.
Pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga dan mereka yang memerlukan bantuan
sebatas kemampuan finansialnya.
4.
Tidak
boleh mengkonsumsi yang haram.
5.
Melakukan
konsumsi yang ideal yaitu antara bathil dan mengumbar (berlebih-lebihan).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Konsumsi merupakan kegiatan menghilangkan atau
menghabiskan nilai guna suatu barang untuk memenuhi kebutuhan. Konsumsi yang
islami tidak hanya mementingkan diri sendiri melainkan juga memikirkan
kemaslahatan seluruh umat agar mendapat berkah dan manfaat. Konsumen muslim
harus selalu memegang prinsip dasar konsumsi Islam yaitu: Prinsip Keadilan, Prinsip
Kebersihan, Prinsip Kemurahan Hati, Prinsip Moralitas, Prinsip Kesederhanaan
Prilaku konsumsi Islami membedakan konsumsi
menjadi konsumsi yang dibutuhkan (needs) yang dalam Islam disebut
kebutuhan hajat dan konsumsi yang dinginkan (wants) atau disebut syahwat.
Konsumsi yang sesuai kebutuhan atau hajat
adalah konsumsi terhadap barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan untuk
hidup secara wajar. Sedangkan konsumsi yang disesuai dengan keinginan atau syahwat
merupakan konsumsi yang cenderung berlebihan, mubazir dan boros.
DAFTAR PUSTAKA
Pusat
Pengkajian dan pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. 2008. Ekonomi Islam.
PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Qardahawi,
Syeikh Yusuf. 1997. Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,
Jakarta. Robbani Press.
Ikhwan
Basri. 2009. Tazkia Cendekia. – Jakarta, Indonesia. All rights reserved. Situs
ini dikelola dan dikembangkan oleh Tazkia Group
Muhamad, Ekonomi Mikro dalam Prespektif Islam, Yogyakarta
: BPFE Yogyakarta, 2004.
Mustafa
Edwin Nasution dkk. 2010. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta Kencana.
2010.
Suprayitno. Eko. Ekonomi Mikro Prespektif Islam, Malang:
UIN. MALANG PRESS, 2008.
Zakaria, Junaiddin. Pengantar Teori Ekonomi Makro.
Jakarta: Gaung Persada Press. 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar