Sabtu, 03 Februari 2018

Makalah Teori Konsumsi Islam



BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
            Dalam pengertian sehari-hari, manusia merupakan bagian anggota masyarakat yang memiliki upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari. Untuk itu warga masyarakat tidak terlepas dari konsumsi, yaitu pengeluran total untuk memperoleh barang-barang dan jasa dalam suatu perekonomian dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran konsumsi terutama dalam konsumsi rumah tangga, memiliki pengaruh besar terhadap stabilitas perekonomian. Karena pada kenyataannya pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai tiga hingga enam kali lipat konsumsi pemerintahan.
Konsumsi merupakan seruan dari Allah kepada manusia untuk hidupnya di dunia ini agar dapat menjalankan peranannya sebagai khalifah di bumi. Sehingga segala hal yang dilakukan di dunia ini tidak terlepas dari norma-norma dan ajaran Islam. Dalam Islam telah diatur bagaimana  hendaknya manusia berperilaku dalam konsumsi.
Makalah ini akan membahas tentang konsumsi dalam islam dan teorinya dibandingkan dengan teori konsumsi konvensional.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian konsumsi Islam?
2.         Bagaimankah teori konsumsi menurut beberapa ahli?
3.         Bagaimana teori konsumsi Islam?
4.         Bagaimana prinsip dasar konsumsi dalam Islam?
C.  TUJUAN PEMBAHASAN
1.         Untuk mengetahuipengertian konsumsi Islam.
2.         Untuk mengetahui teori konsumsi menurut beberapa ahli.
3.         Untuk mengetahui teori konsumsi Islam.
4.         Untuk mengetahui prinsip dasar konsumsi dalam Islam.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM KONSUMSI
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah).
Dalam ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan merupakan ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang halal dan baik dengan cara berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta men-jauhi judi, khamar, gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan manusia (terutama Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan menghindari hutang. Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi terhadap barang yang halal, dengan proses yang halal dan cara yang halal, sehingga akan diperoleh man-faat dan berkah.
Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan  bahwa bumi dengan segala isinya merupakan 5SWT kepada sang khalifah agar dipergunanakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Salah satu pemanfatan yang telah diberikan kepada sang khalifah adalah kegiatan ekonomi (umum) dan lebih sempit lagi kegiatan konsumsi (khusus). Islam mengajarkan kepada sang khalifah untuk memakai dasar yang benar agar mendapatkan keridhaan dari Allah Sang Pencipta. Dasar yang benar itu merupakan sumber hukum yang telah ditetapkan dan harus diikuti oleh penganut Ilsma.
            Hasan Sirry menyatakan bahwa sumber hukum tersebut terdiri dari dua bagian; a). Sumber yang berasal dari ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulnya yang terpercaya dan b). Ijtihad para ahli fiqih yang disesuaikan dengan keadaan zaman, tempat/kedudukan dan lingkungan solial.
a.       Sumber yang Berasal dari Ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul
1)      Sumber yang ada dalam al-Qur’an yang menunjukkan dasar
Sumber hukum konsumsi yang tercantum dalam al-Qur’an adalah,
Artinya:
Makanlah dan munimlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah itu tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.(Al A’raf :31)
2)      Sumber yang ada dalam Sunnah Rasul
Sementara itu, sumber yang berasal dari Hadits Rasul adalah,
Artinya:
Abu Said Al-Chodry r.a. berkata: Ketika kami dalam berpergian bersama Nabi saw. Mendadak datang seseorang berkendaraan, sambil menoleh ke kanan-ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan, maka bersabda Nabi: “Siapa yang mempunyai kelebihan kendaraan harus dibantukan pada yang tidak mempunyai kendaraan. Dan siapa ynang mempunyai kelebihan bekal harus dibantukan pada orang yang tidak berbekal. “Kemudian Rasullah menyebut berbagai macam jenis kekayaan hingga kita merasa seseorang tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan hajatnya.
b.      Ijtihad para Ahli Fiqh
Ijtihad berarti meneruskan setiap usaha untuk menentukan sedikit banyaknya kemungkinan suatu persoalan syariat.

B.  TEORI KONSUMSI MENURUT BEBERAPA AHLI
a.    Teori John Maynard Keyness
Mengemukakan bahwa konsumsi ditentukan oleh pendapatan, dalam Theory Keyness menamakan Absolute Incame Hypothesis (hypothesis pendapatan mutlak).
Ada tiga ciri penting dari teori pendapatan mutlak, Pertama tingkat konsumsi rumah tangga pada suatu periode ditentukan oleh pendapatan disposable, semakin tinggi tingkat pendapat disposable simakin banyak tingkat konsumsi yang akan dilakukan oleh rumah tangga. Kedua apabila pendapatan disposible meningkat maka tingkat konsumsi juga akan meningkat tetapi dalam jumlah yang lebih kecil dari peningkatan pendapatan, atau dengan kata lain kecenderungan konsumsi marginal nilainya lebih besar dari nol tetapi lebih kecil dari satu. Berdasarkan hasil observasi bahwa sikap konsumsi masyarakat pada tingkat pendapatan rendah mempunyai MPC yang lebih tinggi dibanding dengan MPC pada tingkat pendapatan tinggi. Atau dengan kata lain MPC semakin menurun jika pendapatan semakin meningkat. Ketiga walaupun seseorang atau keluarga tidak mempunyai pendapatan, mereka tetap melakukan pembelian untuk konsumsi karena mereka perlu makan, beli pakaian dan sewa rumah. Pembelanjaan konsumsi seperti ini dipandagn sebagai konsumsi otonomi yang tidak dipengaruhi oleh faktor lain.
b.    Teori Franco Modigliani
Franco Modigliani berpendapat bahwa kegiatan konsumsi adalah kegiatan seumur hidup. Oleh karena itu, ia membuat hipotesis tentang berapa banyak jumlah yang dikonsumsi seseorang tergantung pada tingkat pendapatan yang berubah secara teratur (regular pattern) sepanjang kehidupan seseorang, dan tabungan juga mengikuti perubahan pendapatan tersebut. Hal ini disebut life-cycle hypothesis.Model siklus hidup membagi perjalanan hidup manusia menjadi tiga periode sebagai berikut :
1.    Periode Belum Produktif. Periode ini berlangsung sejak manusia lahir, bersekolah, dan bekerja pada kali pertama. Biasanya berkisar antara nol sampai dua puluh tahun.
2.    Periode Produktif. Periode ini berlangsung antara usia dua puluh sampai enam puluh tahun. Selama periode ini manusia mulai dapat meraih tingkat penghasilan yang meningkat sehingga sudah dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya sendiri.
3.    Periode Tidak Produktif Lagi. Periode ini berlangsung di atas umur enam puluh tahun.
c.    Teori Friedman
Dengan teorinya hipotesis pendapatan permanen mengemukakan bahwa konsumsi rumah tangga ditentukan oleh pendapatan jangka panjang. Menurut hipotesis pendapat permanen, tingkat konsumsi seseorang pada waktu tertentu bukan bukan ditentukan oleh pendapatan yang sebenarnya diterima pada waktu tersebut. Misalkan seorang pedagang kain selama tiga tahun belakangan ini mendapatkan pendapatan bersih yaitu pendapatan yang diterima setelah dikurangi modal membeli kain, gaji pekerja dan sewa, berturut-turut sebanyak Rp 10 juta, Rp 12 juta, dan Rp 17 juta. Berarti rata-rata dalam tiga tahun dalam belakangan ini pedagang tersebut memperoleh pendapatan sebanyak Rp 13 per tahun. Menurut hipotesis pendapat permanen, konsumsi pedagang tersebut pada masa kini akan didasarkan pada pendapatan permanen, yaitu pendapatan sebanyak Rp 13 juta dan bukan kepada pendapatan terakhir yang diperoleh yaitu Rp 17 juta.
Dalam hipotesisnya dikemukakan bahwa konsumsi tergantung dari pendapatan permanen seseorang. Yang dimaksud pendapatan permanen ini adalah tingkat pendapatan rata-rata yang diharapkan akan diperoleh dalam jangka panjang. Sumber pendapatan permanen ini bisa berasal dari pendapatan upah/gaji, maupun dari non-upah (misalnya uan sewa).
Pendapatan permanen akan meningkat bila individu menilai kualitas dirinya baik dan mampu bersaing dengan orang lain untuk memperoleh pendapatan. Dengan keyakinan tersebut, maka harapannya akan upah yang akan diterima dan kekayaan yang dimilikinya akan meningkat pula.
Pendapatan saat ini tidak selalu sama dengan pendapatan permanen. Hal ini disebabkan oleh adanya pendapatan yang tidak permanen yang besarnya berubah-ubah. Pendapatan inilah yang disebut dengan pendapatan transitori.
MPC (Marginal Prospensity to Consume)                                                          
MPC (Marginal Prospensity to Consume) atau kecenderungan mengkonsumsi marjinal merupakan perbandingan antara pertambahan konsumsi dengan pertambahan pendapatan yang diperoleh. Dengan kata lain, MPC dipakai untuk mengukur rasio perubahan konsumsi terhadap perubahan pendapatan. Berapa banyak konsumsi akan bertambah jika pendapatan seseorang untuk dibelanjakan (pendapatan disposabel) meningkat. Karena itulah angkanya berkisar antara 0 dan 1. MPC bisa saja lebih dari angka 1 jika orana tersebut meminjam uang untuk membayar pengeluaran yang lebih tinggi daripada pendapatannya. Angka MPC juga tidak mungkin negatif, karena manusia tidak mungkin hidup tanpa mengkonsumsi barang atau jasa.

APC (Average Prospensity to Consume)Kecondongan mengkonsumsi rata-rata merupakan perbandingan antara tingkat pengeluaran konsumsi (C) dengan tingkat pendapatan disposabel pads saat konsumsi tersebut dilakukan (Yd).
d.    Teori James Duesenberry
Dengan teorinya Hipotesis Pendapatan Relatif membuat dua asumsi; pertama, selera sebuah rumah tangga atas barang konsumsi adalah interdependent, yaitu terpengaruh atas pengeluaran yang dilakukan oleh tetangganya. Kedua, pengeluaran konsumsi adalah Irreversible, artinya pola pengeluaran pada saat penghasilan naik berbeda pada saat pola pengeluaran pada saat penghasilan menurun.
Duesenberry menyatakan bahwa teori konsumsi atas dasar penghasilan absolute sebagaimana dikemukakan oleh Keynes tidak mempertimbangkan aspek psichologi konsumen. Duesenberry menyatakan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga sangat tergantung pada posisi rumah tangga tersebut pada masyarakat sekelilingnya, apabila konsumen senantiasa melihat pola konsumsi  tetangganya yang lebih kaya, maka ada efek demonstrasi. Akan tetapi, peniruan pola konsumsi tetangga harus dianalisis dengan melihat kedudukan relatif rumah tangga tersebut pada masyarakat sekelilingnya. Misal, sebuah rumah tangga yang berpenghasilan Rp 3 juta per bulan dan tinggal di daerah yang rata-rata penghasilan masyarakatnya sebesar Rp 500.000,- akan cenderung untuk menabung lebih banyak dan konsumsi lebih sedikit sebab penghasilannya relatif lebih tinggi dari masyarakat sekitarnya dan sebaliknya.
Dari fungsi konsumsi jangka panjang tersebut Duesenberry memperoleh fungsi konsumsi jangka pendek yang didasarkan pada asumsi kedua. Beasrnya pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh besarnya pendapatan tertinggi yang pernah dicapai. Apabila terjadi kenaikan pendapatan, maka pengeluaran konsumsi akan cenderung meningkat dengan proporsi tertentu. Sendangkan apablia benpadatan turun, maka pngeluaran konsumsi juga turun akan tetapi proporsinya lebih kecil dari pada proporsi  kenaikan pengeluaran konsumsi akibat kenaikan pendapatan.
Jika dalam keadaan tidak ada perusahaan, tidak ada pemerintah, dan tidak sektor luar negeri, maka pendapatan nasional keseimbangan (equilibrium) dicapai pada saat konsomsi sama dengan pendapatan nasional, dan tabungan sama dengan nol.
e.     Teori Irving Fisher
Menurut Irving Fihser, seseorang akan memutuskan berapa banyak pendapatan yang dikonsumsi dan berapa banyak yang ditabung dengan mempertimbangkan kondisi pada saat ini dan di masa depan. Semakin banyak ia dikonsumsi saat ini, maka akan sedikit yang dapat ia konsumsi di masa depan.
Fisher menunjukkan kendala yang dihadapi konsumen dan bagaimana mereka memilih antara konsumsi dan tabungan. Mesyarakat rasional akan berusaha menambah jumlah barang dan mutu barang atau jasa yang dikonsumsi. Masyarakat yang mengkonsumsi lebih sedikit dari yang sebenarnya terjadi karena keterbatasan anggaran (budget constraint).
Ketika mereka harus memutuskan berapa yang harus dikonsumsi saat ini dan berapa yang harus ditabung, mereka menghadapi apa yang disebut intertemporal budget constraint.
C.  PRINSIP DASAR KONSUMSI DALAM ISLAM
Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan materi yang luar biasa sekarang ini, untuk mengurangi energy manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya. Perkembangan batiniah yang bukan perluasan lahiriah telah dijadikan cita-cita tertinggi manusia dalam hidup. Tetapi semangat modern dunia barat sekalipun tidak merendahkan nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya mengalihkan tekanan kea rah perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar, antara lain;
1.      Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari reaeki secara halal dan tidak dilarang hokum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang adalah darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi dan daging binatang yang ketika disembelih tidak disebutkan nama selain Allah, seperti yang tertulis dalam al-Qur’an surat Albaqarah ayat 173. Tiga golongan pertama yang dilarang karena hewan-hewan itu berbahaya bagi tubuh, sebab yang berbahaya bagi tubuh juga berbahaya bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang langsung membahyakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan mempersekutukan Allah. Kelonggaran diberikan kepada orang-orang yang terpaksa dan bagi orang-orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhan saat itu juga.
2.      Prinsip Kebersihan
Syarat yang ke dua ini tercantum dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang makanan. Makanan yang akan dikonsumsi haruslah baik dan cocok untuk dimakan, yang berarti tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.
Prinsip ini memiliki manfaat bagi kesehatan, karena bila semua orang menerapkan prinsip ini denga baik maka akan kecil kemungkinan tubuhnya terkena penyakit. Dengan makan makanan yang bersih badan akan menjadi sehat dan tentunya akan tumbuh jiwa yang kuat. Dengan tubuh dan jiwa yang kuat tentunya orang muslim tidak akan terhalang dalam melakukan ibadah sehari-hari. Selain itu kebersihan juga merupakan sebagian dari iman.
3.      Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam melakukan konsumsi. Dalam prinsip ini diajarkan bahwa tidak baik bila seseorang itu berlebihan. Seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 87, yang artinya; “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas”. Arti penting dalam ayat ini adalah kurang maka adalah dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian juga bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya bagi perut. Maka hendaklah orang-orang muslim hidup sederhana saja. Baik itu dalam makanan ataupun dalam belanja sehari-hari. Karena dengan hidup sederhana tidak akan menjadikan seseorang bersikap sombong terhadap yang lain. Hendaklah kebutuhan hidup dipenuhi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, yang berarti tidak membelanjakan harta untuk barang-barang yang tidak perlu.
4.      Prinsip Kemurahan Hati
Dengan menaati  perintah Islam yang tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan hatinya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan dan kesehatan yang lebih baik, dengan tujuan untuk menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya. Kemurahan hati Allah tercermin dari Qs.Almaidah ayat 93, yang artinya; “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan.  Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa, hendaknya seseorang senantiasa bersyukur atas kemmurahan hati Allah. Karena dengan kemurahannya kita dapat makan dan minum makanan yang lezat, dimana itu merupakan kebutuhan pokok dalam hidup. Dan dengan prinsip ini tidak akan menjadikan manusia lupa bahwa semua kenikmatan yang didapat adalah berasal dari Allah karena kemurahan hati-Nya.
5.      Prinsip Moralitas
Prinsip ini menekankan pada tujuan akhir dalam konsumsi, yaitu bukan hanya sekedar terpenuhinya kebutuhan tubuh, melainkan untuk peningkatan nilai-nilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan, dan berterimakasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan measakan kehadiran Tuhan pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini sangat penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang seimbang.

D TEORI KONSUMSI DALAM ISLAM
1. Arti dan Tujuan Konsumsi Islam
Nilai ekonomi tertinggi dalam Islam adalah falah atau kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat yang meliputi material, spritual, individual dan sosial. Kesejahteraan itu menurut Al Ghazali adalah mashlaha (kebaikan). Karena itu, falah adalah manfaat yang diperoleh dalam memenuhi kebutuhan ditambah dengan berkah (falah = manfaat + berkah). Jadi yang menjadi tujuan dari ekonomi Islam adalah tercapainya atau didapatkannya falah oleh setiap individu dalam suatu masyarakat. Ini artinya dalam suatu masyarakat seharusnya tidak ada seorangpun yang hidupnya dalam keadaan miskin.
Dalam upaya mencapai atau mendapatkan falah tersebut, manusia menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan atau upaya mencapai falah menjadi masalah dasar dalam ekonomi Islam. Mendapatkan falah dapat dilakukan melalui konsumsi, produksi dan distribusi berdasarkan syariat Islam. Hal itu berarti bahwa setiap aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi, produksi dan distribusi harus selalu mengacu pada fiqih Islam, mana yang boleh, mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan. Eksistensi keimanan dalam prilaku ekonomi Islam manusia menjadi titik krusial termasuk dalam konsumsi, produksi maupun distribusi.
Parameter kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu saja parameter dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang tinggi, yaitu memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini merupakan amal shaleh. Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain mendapat manfaat dan berkah untuk pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan baik bukan sebaliknya.
Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali.
Seorang muslim sejati, meskipun memiliki sejumlah harta, ia tidak akan memanfaatkannya sendiri, karena dalam Islam setiap muslim yang mendapat harta diwajib-kan untuk mendistribusikan kekayaan pribadinya itu kepada masyarakat yang membutuhkan (miskin) sesuai dengan aturan syariah yaitu melalui Zakat, Infak,  Sedekah dan Wakaf (ZISWA). Masyarakat yang tidak berpunya atau miskin berhak untuk menerima ZISWA tersebut sebagai bentuk distribusi kekayaan. Intinya bahwa tingkat konsumsi seseorang itu (terutama Muslim) didasarkan pada tingkat pendaapatan dan keimanan. Semakin tinggi pendapatan dan keimanan sesorang maka semakin tinggi pengeluarannya untuk hal-hal yang bernilai ibadah sedangkan pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar tidak akan banyak pertambahannya bahkan cenderung turun. Karena itu, konsumsi dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut :
Konsumsi = Maslahah = Manfaat + Berkah
Dengan mengkonsumsi sesuatu, maka diharapkan akan didapat manfaat, yang dapat dirinci sebagai berikut:
1.      Manfaat material, seperti murah, kaya, dan lainnya.
2.      Manfaat fisik/psikis meliputi rasa aman, sehat, nyaman dan lain sebagainya.
3.      Manfaat intelektual, seperti informasi, pengetahuan dan lainnya.
4.      Manfaat lingkungan, eksternalitas positif.
5.      Manfaat secara inter-generational dan antar-generationnal, yaitu adanya kelestarian, bermanfaat untuk keturunan dan generasi yang akan datang.
Sedangkan berkah yang diharapkan didapat dari aktivitas konsumsi tersebut yaitu:
1.      Kehalalan barang dan jasa yang dikonsumsi.
2.      ‘Idak Israf artinya memberikan kegunaan bagi yang mengkonsumsinya maupun bagi yang lainnya
3.      Mendapat Ridho Allah.
3. Prilaku Konsumsi Islami
Dalam melakukan kegiatan konsumsi, Islam telah mengaturnya secara baik. Prilaku konsumsi Islami membedakan konsumsi yang dibutuhkan (needs) yang dalam Islam disebut kebutuhan hajat dengan konsumsi yang dinginkan (wants) atau disebut syahwat. Konsumsi yang sesuai kebutuhan atau hajat adalah konsumsi terhadap barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan untuk hidup secara wajar. Sedangkan konsumsi yang disesuai dengan keinginan atau syahwat merupakan konsumsi yang cenderung berlebihan, mubazir dan boros.
Dalam melakukan konsumsi yang bersifat me-menuhi keinginan (wants) atau syahwat adalah konsumsi yang kurang bahkan tidak mempertimbangkan;
1.    Apakah yang dikonsumsi tersebut ada maslahanya atau tidak
2.    Tidak mempertimbangkan norma-norma yang disyariat-kan dalam Islam.
3.    Kurang atau tidak mempertimbangkan akal sehat.
Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yang disebut hajat merupakan konsumsi yang betul-betul dibutuhkan untuk hidup secara wajar dan memperhatikan maslahatnya. Artinya konsumsi tersebut dilakukan karena barang dan jasa yang dikonsumsi mempunyai maslahat dan dibutuhkan secara riil serta memperhatiakan normanya. Mempunyai mashlahat itu artinya bahwa barang dan jasa yang dikonsumsi mem-berikan manfaat untuk kehidupan dan berkah untuk hari akhirat.
Konsumsi yang sesuai dengan kebutuhan atau konsumsi yaang bersifat hajat ini dapat pula dibagi dalam 3 (tiga) sifat yaitu :
1.      Kebutuhan (hajat) yang bersifat dhoruriyat yaitu kebutuhan dasar dimana apabila tidak dipenuhi maka kehidupan termasuk dalam kelompok fakir seperti sandang, pangan, papan, nikah, kendaraan dan lain lain.
2.      Kebutuhan (hajat) yang bersifat hajiyaat yaitu pemenuhan kebutuhan (konsumsi) hanya untuk mempermudah atau menambah kenikmatan seperti makan dengan sendok. Kebutuhan ini bukan merupakan kebutuhan primer.
3.      Kebutuhan (hajat) yang bersifat tahsiniyatyaitu kebutuhan di atas hajiyat dan di bawah tabzir atau kemewahan
Selain hal-hal di atas yang harus diperhatikan oleh konsumen dalam aktivitas konsumsi, ada hal-hal lain yang juga perlu menjadi perhatian. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalm konsumsi yaitu;
1.      Memenuhi kebutuhan diri sendiri, kemudian keluarga, kerabat baru orang yang memerlukan bantuan.
2.      Penuhi dulu dhoruriyat, hajiyat kemudian baru tahsi-niyat.
3.      Pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan diri, keluarga dan mereka yang memerlukan bantuan sebatas kemampuan finansialnya.
4.      Tidak boleh mengkonsumsi yang haram.
5.      Melakukan konsumsi yang ideal yaitu antara bathil dan mengumbar (berlebih-lebihan).

BAB III

PENUTUP
KESIMPULAN
Konsumsi merupakan kegiatan menghilangkan atau menghabiskan nilai guna suatu barang untuk memenuhi kebutuhan. Konsumsi yang islami tidak hanya mementingkan diri sendiri melainkan juga memikirkan kemaslahatan seluruh umat agar mendapat berkah dan manfaat. Konsumen muslim harus selalu memegang prinsip dasar konsumsi Islam yaitu: Prinsip Keadilan, Prinsip Kebersihan, Prinsip Kemurahan Hati, Prinsip Moralitas, Prinsip Kesederhanaan
Prilaku konsumsi Islami membedakan konsumsi menjadi konsumsi yang dibutuhkan (needs) yang dalam Islam disebut kebutuhan hajat dan konsumsi yang dinginkan (wants) atau disebut syahwat. Konsumsi yang sesuai kebutuhan atau hajat adalah konsumsi terhadap barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan untuk hidup secara wajar. Sedangkan konsumsi yang disesuai dengan keinginan atau syahwat merupakan konsumsi yang cenderung berlebihan, mubazir dan boros.

DAFTAR PUSTAKA

Pusat Pengkajian dan pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII. 2008. Ekonomi Islam. PT Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Qardahawi, Syeikh Yusuf. 1997. Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta. Robbani Press.
Ikhwan Basri. 2009. Tazkia Cendekia. – Jakarta, Indonesia. All rights reserved. Situs ini dikelola dan dikembangkan oleh Tazkia Group
Muhamad, Ekonomi Mikro dalam Prespektif Islam, Yogyakarta : BPFE Yogyakarta, 2004.
Mustafa Edwin Nasution dkk. 2010. Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam. Jakarta Kencana. 2010.
Suprayitno. Eko. Ekonomi Mikro Prespektif Islam, Malang: UIN. MALANG PRESS, 2008.
Zakaria, Junaiddin. Pengantar Teori Ekonomi Makro. Jakarta: Gaung Persada Press. 2009.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar